Selasa, 15 Maret 2011

Desa itu bernama Baturijal

Desa itu bernama Baturijal. Percuma mencarinya dalam peta, karena memang desanya kecil dan terpencil. Desa di pedalaman kabupaten Indragiri Hulu Riau itu tidak dimasukkan dalam peta. Aku dilahirkan di sana, 65 tahun yang lalu. Aku sempat menanam padi di sawah, bersama orang tua. Sawah tadah hujan itu, penuh dengan ikan seperti gabus, toman, bermacam-macam jenis sepat, puyu, dan ikan sungai sejenis ikan mas dan lain-lain. Selesai acara menanam padi, maka ikan sepat, gabus dan lain-lain menumpuk di tempat yang masih ada airnya. Siapa saja yang mau boleh mengambilnya.

Untuk memudahkan menangkap ikan, di tempat bagian yang agak dalam dibuat kolam ukuran kira-kira 3x4 meter. Ketika di bagian lain airnya sudah kering, ikan mengumpul ke tempat yang dalam tadi dan akhirnya masuk ke dalam kolam. Kolam pun semakin mengering dan ikan dapat ditangkap dengan tangan saja. Selesai bertanam padi, sebelum panen padi, petani panen ikan dulu. Hasil panen ikan, kalau dikeringkan dan dijadikan ikan asin, tidak habis untuk makan setahun.

Padinya baru dapat dipanen setelah 6 bulan. Batangnya tinggi, melebihi tinggi orang yang melakukan panen. Sehingga tidak terlihat ketika ibu-ibu tani memainkan ani-ani memotong padi, sambil bernyanyi. Riuh rendah di tengah sawah.

Lima tahun yang lalu, aku pulang, rindu suasana desa tempat bermain di waktu kecil. Aku pergi ke tempat-tempat aku menanam padi dulu. Aku sangat terkejut, tak sebatang pun ada tanaman padi. Anak-anak murid SD, terheran-heran mendengar aku bercerita tentang masa lalu. Mereka hanya tahu nasi itu dari beras, tidak tahu bahwa asal beras itu dari padi. Tentang padi, tidak tahu sama sekali.

Anak-anak itu aku kumpulkan dan aku bercerita. Dulu, di sekeliling desa kita ini banyak rawa. Rawa itu menjelang kering ditanami padi. Ikannya ditangkap untuk lauk. Ketika rawa mulai mengering, air-air yang tertinggal pada bekas pijakan kaki kita pasti ada ikannya. Di mana ada air di situ ada ikan. Pada saat panen, anak-anak yang masih kecil mengambil batang padi dibuat serunai. Supaya suaranya lebih jelas lagi, diujung serunai itu dibuatkan corong dari daun kelapa. Suara serunai semakin keras kalau ditiup. Bersahut-sahutan, riuh ramai seantero desa.

Penduduk Baturijal sudah beralih profesi, dari petani, sekarang menjadi berkebun. Mereka berlomba-lomba membuat kebun karet. Setelah lima tahun, pohon karet dapat dipanen, setiap hari. Hari ini dipanen – istilahnya ditakik, getahnya dibekukan. Setelah beku ditimbang, dijual, langsung dapat duit. Berbeda sekali dengan padi. Padi harus sabar menunggu selama 6 bulan. Setelah enam bulan baru dapat dipanen, kalau tidak keduluan air banjir yang dapat menenggelamkan padi yang sudah masak siap panen. Hasil padi, kalau mencapai nishab, wajib mengeluarkan zakat. Motivasi petani di desaku, bagaimana supaya setiap panen dapat berzakat.

Bayangkan sekarang anak desa tidak mengetahui bagaimana bentuk tanaman padi. Bahkan tidak mengetahui bahwa nasi yang mereka makan itu berasal dari padi. Bagaimana halnya dengan anak kota? Kalau Indonesia mejadi pengimpor beras terbesar di dunia, pantas saja. Siapa yang bertanggungjawab, kalau nanti kita kehabisan beras, Amerika dan Vietnam tidak mau menjual berasnya kepada kita? Menteri Pertanian? Presiden? Entahlah.